Psikotes, sebuah kata yang terdengar sangat familier tapi juga begitu asing. Begitu seringnya mendengar kata ini sampai kita merasa tahu persis artinya, padahal seringkali kita juga dibuat bingung oleh misteri yang ada dibalik psikotes. Kebanyakan orang akan merasa takut, setidaknya gelisah, jika mengetahui dirinya akan menjalani psikotes. Ada yang bilang psikotes akan menunjukkan apakah kita bodoh atau pintar. Psikotes juga dikatakan dapat membedakan mana orang yang waras dan yang “sakit jiwa”. Psikotes dipandang bisa membuka ”rahasia” yang kita coba simpan melalui berbagai tes yang aneh-aneh. Khusus dalam urusan perjuangan mencari kerja, psikotes telah menjadi momok, palang penjegal yang menghalang-halangi para pelamar untuk mencapai pekerjaan impiannya tanpa kriteria yang jelas siapa yang boleh masuk dan siapa yang tidak.
Bagaimana dengan Anda? Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar kata “psikotes”? Apakah Anda juga memiliki asumsi-asumsi yang anda sendiri tidak yakin akan kebenarannya? Apakah banyaknya berita negatif mengenai psikotes juga telah mempengaruhi penilaian Anda terhadap tes ini? Artikel ini berniat memberikan informasi yang akurat mengenai psikotes. Artikel ini akan memberikan sudut pandang objektif dari kacamata seorang psikolog mengenai misinterpretasi fungsi dan penggunaan psikotes atau tes psikologis tertulis (termasuk menggambar).
Sebelumnya, jangan lupa untuk membaca artikel PSIKOTES: Tak Kenal Maka Tak Sayang dalam edisi ini juga agar Anda memiliki dasar pemahaman apa itu psikotes dan apa bedanya dengan asesmen psikologis.
MITOS 1 : Tidak lolos psikotes berarti bodoh
Faktanya…
Belum tentu. Pada intinya, psikotes dilakukan untuk mencari KESESUAIAN antara orang dan suatu pekerjaan. Seseorang tidak diterima bukan berarti dia pasti bodoh, tetapi karena dia kurang sesuai dengan gambaran orang yang dicari. Kriteria yang digunakan tidak hanya dari segi kemampuan intelektual, melainkan juga dari perilaku kerja dan karakteristik kepribadian. Misalnya untuk lowongan petugas Humas tentunya dibutuhkan orang-orang yang memiliki keterampilan yang baik dalam berkomunikasi, yang juga mampu berkomunikasi secara luwes dengan orang yang baru dikenal. Jika ada seseorang yang cenderung pendiam ditolak ketika melamar untuk posisi tersebut, hal itu lebih dikarenakan dirinya dipandang tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi petugas Humas. Padahal, mungkin saja secara intelektual pelamar yang pendiam ini lebih pintar dari yang ceriwis.
MITOS 2 : Hasil psikotes bagus karena latihan
Faktanya…
Jika memang Anda sudah punya potensi, latihan bisa sedikit membantu. Seperti tes yang berbentuk soal perhitungan, semakin sering kita berlatih mengerjakan berbagai macam perhitungan, tentunya kita akan semakin mahir memecahkan soal perhitungan yang lain. Ini lebih dikarenakan kelenturan berpikir kita menjadi lebih terlatih, bukan karena kecerdasan kita meningkat jauh. Mungkin ada orang yang berusaha berlatih atau menghafal jawaban (yang entah dari mana dan belum tentu bisa dipertanggungjawabkan), tapi biasanya kesimpulan psikotes mengacu pada hasil keseluruhan yang merupakan integrasi dari beberapa tes, ditambah pengujian lewat observasi dan wawancara. Jadi, satu dua tes hasil hafalan tidak selalu punya dampak signifikan.
MITOS 3 : Hasil psikotes seseorang bisa berubah-ubah
Faktanya…
Idealnya psikotes dikerjakan dalam kondisi individu yang optimal, didukung situasi di sekitarnya, sehingga yang bersangkutan bisa berkonsentrasi penuh pada tugas-tugasnya. Jika tes dilaksanakan dalam lingkungan yang tidak akomodatif (misalnya bising, panas, dan sebagainya), atau individu yang bersangkutan mengerjakan psikotes dalam keadaan kurang sehat, maka ada kemungkinan performa individu tersebut tidak optimal dalam mengerjakan psikotes. Di luar itu, setiap jenis psikotes dalam pembuatannya telah melalui proses pengujian reliabilitas. Artinya, setiap tes memiliki kemampuan untuk mendeteksi kapasitas rata-rata individu pada aspek tertentu, dimana kapasitas tersebut akan ditunjukkan dengan hasil yang relatif sama dari waktu ke waktu. Kalaupun ada perubahan hasil yang meningkat/menurun, biasanya masih dalam rentang kategori yang sama. Misalnya, hasil pengukuran kecerdasan si Ani pada tahun 2005 adalah 115 dan termasuk kategori kecerdasan “di atas rata-rata”. Pada tahun 2007 Ani melakukan pengukuran kecerdasan lagi dan mendapat hasil 112. Walaupun terjadi penurunan angka (3 poin), Ani tetap termasuk dalam kategori kecerdasan “di atas rata-rata”.
MITOS 4 : Psikotes bisa digunakan untuk melihat kewarasan seseorang
Faktanya…
Psikotes saja belum cukup untuk menentukan apakah seseorang mengidap “sakit jiwa”. Untuk mengukur hal tersebut perlu digunakan alat dan metode lainnya yang lebih kompleks. Tes-tes psikologis yang diberikan pada seseorang sudah pasti disesuaikan dengan tujuannya. Tes untuk seleksi karyawan tentu saja berbeda dari tes untuk melakukan diagnosis kesehatan mental. Berdasarkan jenisnya, psikotes untuk seleksi karyawan hanya untuk mengukur dua hal: kemampuan (kecerdasan, kemampuan berpikir) dan pola perilaku (perilaku kerja dan kecenderungan kepribadian) seseorang. Kedua hal ini tidak cukup untuk mendeteksi keadaan kejiwaan seseorang. Dibutuhkan berbagai alat dan metode lain yang bisa mengetahui pengalaman masa lampau, kebutuhan dasar, hubungan dengan lingkungan terdekat, dan hal-hal lain yang biasanya tidak dipahami secara sadar oleh orang yang bersangkutan.
MITOS 5 : Hasil psikotes tergantung kemurahan hati Psikolognya
Faktanya…
Setiap individu yang mengikuti psikotes harus mengerjakan tugas sendiri-sendiri, tidak ”menyontek” dari peserta lain atau dari ”jawaban” yang dihafalkan, dan dikerjakan sesuai alokasi waktu yang ditentukan. Maksudnya adalah agar hasil psikotes betul-betul merupakan cerminan dari potensi individu yang bersangkutan, tidak dilebih-lebihkan dan tidak juga dikurang-kurangi. Setiap psikolog telah melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan untuk dapat mengukur dan menyimpulkan kemampuan seseorang secara objektif berdasarkan data psikotes yang ada. Para psikolog juga memegang kode etik profesi untuk menjaga kemurnian hasil psikotes seseorang. Seorang psikolog dapat kehilangan ijin prakteknya jika melanggar kode etik ini. Jadi, psikolog tidak akan sembarangan membuat kesimpulan misalnya karena terpengaruh rasa kasihan.
MITOS 6 : Psikoteslah yang menentukan diterima-tidaknya seseorang dalam proses seleksi
Faktanya…
Psikotes merupakan salah satu alat bantu yang digunakan dalam proses seleksi. Hasil psikotes menjadi salah satu pertimbangan untuk menentukan lolos/tidaknya seseorang, disamping faktor penentu lain seperti pengalaman, hasil tes akademis, tes kesehatan, dan sebagainya. Untuk sebuah posisi misalnya, biasanya akan ada persyaratan akademis dan pengalaman tertentu. Jika seseorang dinyatakan secara psikologis memadai untuk posisi tersebut, namun ia tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai, maka besar juga kemungkinan ia tidak akan diterima. Pada akhirnya semua keputusan sangat tergantung pada kebijakan instansi yang bersangkutan. Ada instansi yang menjadikan psikotes sebagai faktor utama, namun banyak juga instansi yang lebih mementingkan latar belakang pendidikan dan /atau pengalaman yang memadai.
MITOS 7 : Hasil psikotes belum tentu memberikan gambaran tentang individu secara akurat
Faktanya…
Sebelum dapat digunakan untuk umum, sebuah psikotes harus melalui pengujian validitas yang memastikan psikotes tersebut mampu mengukur suatu aspek tertentu dalam diri individu secara akurat. Misalnya, sebuah tes yang dibuat untuk mengukur daya logika harus benar-benar bisa mengukur daya nalar seseorang, bukan penguasaan hafalan rumus matematika, atau yang lain. Masalahnya, hasil psikotes menggambarkan potensi seseorang. Terkadang yang terlihat dari perilaku sehari-hari belum tentu sesuai dengan potensi yang terukur. Misalnya, seseorang dengan potensi kecerdasan tinggi bisa saja tidak berprestasi karena malas atau kurang proaktif. Sebaliknya, seseorang dengan kecerdasan rata-rata bisa mencapai kesuksesan karena memiliki kepribadian yang ulet dan bisa memotivasi diri. Perlu diingat bahwa hasil psikotes masih butuh diuji dengan metode lain seperti wawancara dan observasi. Kepentingannya adalah untuk mendapatkan gambaran potensi yang lebih menyeluruh dari sekedar tes tertulis.
Bagaimana? Mudah-mudahan beberapa penjelasan di atas cukup dapat mempertajam pemahaman Anda mengenai psikotes. Jika Anda memliki pertanyaan lain mengenai psikotes, silakan hubungi kami via e-mail di info@lptui.com. Dengan senang kami akan memberikan informasi yang Anda butuhkan.
sumber : Nur Rachmawati Lubis (lptui)